Sabtu, 15 April 2017

HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI)



A.    Arus Baru Ekstremisme Islam
1.    Ideologi Dunia
As’ad Said Ali (2009: 266) mengatakan bahwa setidaknya terbagi ke dalam dua aliran besar yaitu ideologi kanan dan ideologi kiri, kemudian ditambah lagi fundamentalis agama. Ideologi Kanan ini lebih dikenal sebagai Kapitalisme dan Liberalisme beserta varian-variannta. Sedangkan Ideologi Kiri mengarah kepada ajaran Karl Marx yang diadobsi ke dalam Sosialisme dan Komunisme beserta varian-variannnya. Fundamentalis agama bukan bagian dari kedua aliran ideologi tersebut. Bahkan fundamentalis agama tidak jarang merupakan bentuk protes sekaligus alternatif dari permasalahan yang timbul dari kedua aliran itu. Namanya saja agama, maka fundamentalis agama ini lebih mengagunggkan dan hendak mengembalikan tatanan kehidupan sesuai Al Qur’an dan Hadits.
Fundamentalisme dari kelompok agama muncul akibat semakin duniawinya pola hidup masyarakat, kegagalan kapitalisme dan liberalisme dalam menciptakan keadilan sosial, dan ancaman-ancaman modernisasi yang semakin mendesak kehidupan beragama. Secara ekstrem, paham ini merupakan paham yang memperjuangkan pelaksanaan ajaran agama sesuai dengan tekstual dalam Kitab Suci tanpa mau menerima penafsiran untuk suatu masa (kontekstual).
Sebagai sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah "tercemar". Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga mencoba meraih kekuasaan politik demi mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi mereka.
Fundamentalis agama tidak hanya dialami oleh Islam namun hampir seluruh agama. Pertama kali fundamentalis agama muncul diawali dari pemikiran Girolamo Savonarola (1452-1498) dari Italia. Gagasan yang dibawanya adalah kristianitas sebagai ideologi politik. Di Kristen ada William Jenings Bryan yang menetang adanya teori evolusi yang diajarkan di sekolah-sekolah. Namun di sisi lain, tidak semua umat kristiani menerima gagasan fundamentalis itu, terutama bagi mereka yang meyakini pemisahan agama dan negara. Dalam Hindu terjadi pembaharuan agama dengan mengkritisi sejumlah upacara keagamaan yang sebagian besar dananya dipikul oleh masyarakat miskin. Kemudian gerakan ini meluas disambut oleh kalangan bawah dengan mempermasalahkan reinterpretasi kasta yang tidak bisa lagi diartikan secara genealogis namun harus dipandang sebagai fungsi sosial. Di sisi lain, Wedha harus diajarkan secara terbuka yang memungkinkan seseorang bisa moksa tanpa kasta.
Dalam Islam, kelompok ini sangat banyak variasinya bahkan tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan. Terorisme merupakan salah satu cara fundamentalis, khususnya Islam untuk merebut dan mengembalikan kejayaanya kembali. Selain cara terorisme, ada kelompok fundamentalis yang radikal namun tidak menggunakan cara-cara terorisme dan tidak mau ikut campur urusan negara. Lain lagi dengan kelompok yang tidak menggunakan cara-cara terorisme dan berpartisipasi dalam urusan negara.

2.    Perkembangan Kelompok Fundamentalis Islam
Merunut lebih awal mengenai dimensi-dimensi dalam agama yang bisa dimasuki fundamentalis, kemudian menjadi radikalis kemudian menjadi teroris. Menurut Hasyim Muzadi (2005: 98), agama itu memiliki empat dimensi, yaitu teologi, ritual, sosial dan humanitas. Dimensi teologi ini sangat privat, tidak bisa dicampuri siapapun, tidak boleh disentuh dari luar tanpa jalur kesadaran. Sementara dimensi ritual adalah hubungan langsung manusia dengan Tuhannya. Penempatan dimensi teologi dan ritual secara benar akan menumbuhkan harmoni sosial dan berimplikais kepada penguatan dimensi humanitas. Namun sebaliknya, jika teologi dan ritual keliru ditempatkan maka akan merobek-robek harmoni sosial dan kemanusiaan.
Fundamentalis Islam pertama-tama harus dilihat sebagai suatu reaksi terhadap masalah-masalah yang mengiringi modernitas yang dianggap telah keluar dari ajajaran Islam. Menurut Muhyiddin Arubusman (2006: 5) terdapat penjelasan mengenai fundamentalis Islam memiliki kecenderungan menggunakan jalan kekerasan. Pertama, pada tataran geopolitik global, Ummat Islam berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Kedua, secara bersamaan, negara-negara Barat selama ini mengambil keuntungan dari kekayaan alam negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam. Ketiga, Ummat Islam muncul karena meninggalkan ajaran dari Allah SWT. Kemudian harus diperjuangkan kembali dengan menegakkan syar’at Islam bukan ajaran sekuler yang merupakan produk manusia. Perlawanan yang disebabkan berbagai faktor itu menimbulkan solidaritas di dunia Islam. Ditambah poin 2 dalam mengambil kekayaan tadi, yang begitu menyengsarakan masyarakat, tidak ada proteksi bahkan terkadang melakukan pelanggaran HAM. Namun Maulani (2005: 47) dalam tulisan mengindikasikan bahwa adanya tuduhan terorisme belakangan ini dan dilegalkan dengan WTC New York dan Pentagon Washington D.C. 11 September 2001 sebenarnya grand desain dari Amerika Serikat dan Israel. Sesuatu yang mustahil jika Afganistan yang dituduh sebagai dalang kedua peristiwa di Adikuasa Amerika Serikat itu. Anggapan yang muncul adalah sebagai jalan awal untuk penguasaan minyak di kawasan Timur Tengah dan Cekungan Kaspia.
Pada awal mulanya, gelombang kebangkitan Islam muncul pada dekade ketujuh abad ke-20 M. Kurang lebih mengambil momentum bertepatan dengan tahun baru Hijriyah, sebuah anggapan dari Ummat Islam atas adanya awal yang baru untuk hijrah menuju pembaharuan. Tahun yang Baru, harapan baru akan sesuatu yang baru. Sekaligus adanya dalil dalam Islam yang menyebutkan “jika hari ini lebih baik dari hari kemarin maka itulah orang yang beruntung, jika hari ini sama saja dengan hari kemarin maka itulah orang yang merugi dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka itulah orang yang bangkut.” Kondisinya, kala itu Ummat Islam tidak lagi kuat dalam menghadapi modernitas Barat yang dipaksakan melalui kolonialisme. Menurut Hrair Dekmejian (dalam Imdadun Rahmat, 2005: 1) menyebutkan ada beberapa ciri menonjol kondisi yang menyebabkan gerakan-gerakan ini muncul, yaitu:
  1. Perventif yaitu Kondisi kritis itu tidak terbatas pada beberapa negara melainkan menyebar ke seluruh Dunia Islam.
  2. Komprehensif yaitu Kritis ini meliputi berbagai bidang kehidupan sekaligus, misalnya bidang sosial, spiritual, politik, kebudayaan dan ekonomi.
  3. Kumulatif yaitu Krisis ini bersifat kumulatif, terdiri dari tumpukan berbagai krisis seperti kegagalan pembangunan bangsa, pembangunan ekonomi-sosial dan runtuhnya kekuatan militer.
  4. Xenophobia yaitu Merebaknya kebencian terhadap unsur-unsur yang berbau asing. Terancamnya kebudayaan Islam dan way of live dari kekuatan-kekuatan non-Islam seperti sekulerisme dan modernitas yang terkadang dibawa oleh negara itu sendiri.
Nampaknya runtuhnya Shah Iran menjadi inspirasi sekaligus awal mula tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan ini. Menurut Herman Frederick Eilts (1987) (dalam Imdadun Rahmat, 2005: 2) kebangkitan Islam dimulai semenjak lengsernya Shah Iran Reza Pahlevi yang kemudian ditandai dengan tampilnya Imam Khomeini sebagai pemimin revolusi Iran. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Jamhari dan Jajang Jahroni (2004: 9) menyebutkan bahwa gerakan Islam mendapatkan semenjak pecahnya Revolusi Islam Iran tahun 1970-an. Pada periode ini keberhasilan Mullah dalam menggulingkan kekuasaan Shah Iran pada 1979 yang dianggap sebagai lambang budaya Barat memberikan inspirasi kepada gerakan serupa di wilayah Muslim lainnya. Di Indonesia sendiri, adanya Revolusi Iran ini memberikan dampak yang signifikan, walaupun belum mampu mengarah kepada gerakan Syi’ah karena masih mampu dibendung oleh Sunni yang telah lama ada di Indonesia. Namun setidaknya keberhasilan Syi’ah di Iran itu mengilhami lahirnya kelompok-kelompok radikal semacam kelompok Usroh, kelompok pengajian di kalangan mahasiswa yang meniru gaya imamah Syi’ah.
Kedaulatan Islam terlihat mulai surut semenjak Keruntuhan Kekhalifahan Islam Terakhir, Kesultanan Turki Utsmani. Kesultanan dibubarkan tanggal 1 November 1922, dan sultan terakhirnya, Mehmed VI (berkuasa 1918–22), meninggalkan negara ini pada 17 November 1922. Keruntuhan itu sebagai dampak kekalahan Turki pada Perang Dunia I. Ditambah adanya berbagai gerakan dalam negeri Turki yang sulit dikendalikan, seperti Gerakan yang dipimpin Mustafa Kemal Pasha dan Gerakan di daerah Hijjaz dan sekitarnya. Dampak keruntuhan Turki adalah dicaploknya wilayah-wilayah Turki kepada negara-negara pemenang dan menjadikannya sebagai negara perwalian. Inilah awal mula kemunduran Dunia Islam di seluruh dunia. Dunia Islam bagaikan kehilangan induknya, perpecahan, penjajahan, menjadi sebagian dari permasalahan di Dunia Islam. Sedangkan dari luar, arus budaya Barat semakin tidak terbendung lagi. Berbagai pertempuran di Dunia Islam tidak mampu lagi mengimbangi kekuatan militer Negara-negara Barat. Dunia Islam menjadi Negeri Terjajah, bahkan Turki mendapatkan sebutan “Pesakitan dari Eropa”.
Pada abad 20 muncul konseptualisasi atau ideologisasi Islam. Ideologisasi ini disampaikan oleh Jamaludin Al Afgani (1839-1897) dengan mengonseptualisasikan ajaran Islam sebagai spirit perlawanan terhadap kolonialisme dengan membentuk partai politik Hizbul Wathon di Mesir. Selain itu juga menggagas Pan Islamisme adalah paham yang bertujuan untuk menyatukan umat Islam sedunia. Ajaran tersebut kemudian dilanjutkan oleh Mohammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935) dengan mensistematisasinya dengan kemudian menginspirasi lahirnya nasionalisme di Timur Tengah.
Berjalannya waktu, tokoh-tokoh di atas mengilhami lahirnya bermacam-macam gerakan Islam selanjutnya. 
Jama’ah Jihadi ini mendapat momentum dengan adanya Panggilan Jihad ke Afganistan melawan Uni Soviet. Jama’ah Jihadi, Jama’ah Islamiyah di Pakistan dibawah Abul A’la Al Maudadi, Syi’ah Iran dan Mujahid Salafi Puritan bersatu untuk melawan Uni Soviet. Namun peran Mujahid Salafi Puritan ini tidak lepas atas dorongan Arab Saudi atas keterlibatan Iran yang dicurigai menyebarkan Syi’ah. Paling penting, juga keterlibatan Amerika Serikat secara tidak langsung karena saat itu masih Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur. Sehingga bisa dikatakan kala itu, hanya sebatas proxy dari kepentingan Amerika Serikat untuk mengusir Uni Soviet. Setelah Uni Soviet pergi dari Afganistan, maka sebagian besar Laskar Gabungan Islam ini ditarik keluar dari Afganistan. Masih ada beberapa kelompok laskar/militan yang tetap bertahan di Afganistan di bawah pimpinan Osama bin Laden. Osama berpandangan bahwa Amerika Serikat juga harus dihapuskan dari Dunia Islam, oleh karena itu dengan segera Arab Saudi mencabut kewarganegaraannya. Kelompok ini yang kelak dikenal dengan Al Qaidah dan Taliban.
Sebagai Negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia tidak luput dari incaran gerakan fundamentalis. Sedangkan di Indonesia telah lama berdiri Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Perti, Parmusi, Serikat Islam, Al Irsyad, Al Washliyah, Mathla’ul Anwar maupun Islam Kejawen dan Abangan dan lainnya. Belum termasuk Ahmadiyah, Syi’ah dan LDII yang juga ada di Indonesia. Faham-faham dari luar ini tidak jarang menimbulkan konflik dengan faham-faham yang telah lama ada di Indonesia. Dalam hal ini, ada beberapa cara yang dilakukan faham-faham yang baru masuk, bisa melakukan gerakan bawah tanah maupun menyusup ke organisasi-organisasi yang telah lebih dahulu ada. Mengenai penyusupan itu pernah disebutkan dalam sebuah buku yang dikeluarkan PP Muhammadiyah.
Benih-benih Ikhwan diketahui muncul pada tahun 1970an dan berkembang pada 1980an. Namun saat ini adalah masa Orde Baru yang tidak memungkin berbagai gerakan bisa tumbuh dan berkembang tanpa izin pemerintah. Sasaran-sasaran utamanya adalah kampus-kampus dengan memanfaatkan masjid-masjid kampus. Nama awalnya adalah Gerakan Tarbiyah dengan menjadikan ajaran Hasan Al Banna sebagai ajaran wajibnya. Sasaran berikutnya adalah alumnus Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) sebuah perguruan tinggi yang merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad. Mengingat pada zaman itu, banyak Ikhwan yang direkrut untuk menjadi dosen-dosen. Gerakannya diam-diam, tidak muluk-muluk sehingga ketika muncul pada era reformasi membuat semua orang kaget dan takjub ada sebuah gerakan yang memiliki basis massa besar dan seragam. Karena pada saat itu, Ikhwan ikut mendirikan sebuah partai politik dengan hasil yang patut untuk diperhitungkan.

Kompetitor dari Ikhwan ini adalah Hizbut Tahrir (HT). HT tercatat masuk lewat Australia pada tahun 1990an. Model rekrutmennya pun juga seperti Ikhwan yang dilakukan di kampus-kampus sebagai sasarannya. Di akhir 1980an, Syi’ah juga mencoba masuk ke Indonesia, namun kurang digarap serius oleh Iran sebagai Induk Ajaran Syi’ah saat itu dan saat ini. Baru tahun 1990an Syi’ah mulai menengok Indonesia kembali dengan memfasilitasi beasiswa untuk kuliah di Iran. Namun terlanjur kalah bersaing dengan Ikhwan dan Jihadi. Gerakan Jihadi mendapatkan pendukung saat “Panggilan Jihad” ke Afganistan dikumandangkan. Jalur jihad ini dirintis oleh Kadungga (mantan Darul Islam) lalu dilanjutkan oleh Abdullah Sungkar. Lewat jalur Malaysia, Abdullah Sungkar mengirimkan kader-kader barunya ke Pakistan untuk dilatih dan selanjutnya diterjunkan di Afganistan. Dari situlah mulai bersinggungan dengan Al Qaidah. Pasca perang, Gerakan Jihadi ini mengarahkan untuk menggempur Amerika Serikat. Kemudian Pembentukan Kekhalifahan Islam Asia Tenggara dengan embrio Jama’ah Islamiyah oleh Abdullah Sungkar kemudian diteruskan oleh Abu Bakar Ba’syir. Cara-cara yang digunakan lebih banyak dengan jalur kekerasan dengan mengatas-namakan jihad. Kemudian dalam perkembangannya, gerakan ini beberapa kali terlibat dalam aksi-aksi pengeboman bunuh diri yang terkenal sebagai terorisme.
Di lain pihak, Salafi tadi ketinggalan untuk bersaing di Indonesia. Gerakan ini menjadi kompetitor gerakan-gerakan yang menginduk kepada ajaran Hasan Al Banna. Embrio awalnya juga kepada alumni LIPIA yang merupakan cabang dari Arab Saudi. Cara lain yang dilakukan dengan meniru Nahdlatul Ulama yang telah lama ada di Indonesia, yaitu mendirikan pondok-pondok pesantren dan memakai kata “Salafi” yang populer dipakai untuk kalangan NU. Dalam hal ini, Salafi ini juga terbelah menjadi Salafi Sururiah dan Salafi Puritan. Namun keduanya memiliki tujuan yang sama untuk melawan “Khawarij” (Ikhwan, HT dan Jihadi), pemberantasan bi’dah, syirik dan kesesatan lainnya dan sangat membenci Syi’ah.
Menurut As’ad Said Ali (2010: 304) menyebutkan cara penyebaran gerakan-gerakan ini. Karena adanya dukungan jejaring internasional serta agresivitas penyebarannya yang mungkin menggerogoti basis gerakan Islam lokal. Basis Muhammadiyah di perkotaan sekarang digerogoti oleh Ikhwan dan HT. Kemudian Jama’ah Tabligh (Jaulah) mulai mengerogoti komunitas NU di perkotaan dan mengincar komunitas sufi. Sedangkan Salafi berusaha mengambil jama’ah NU puritan melalui model pesantren. Basis DI menemukan jaringan internasional melalui jihad. Namun walaupun berasal dari internasional, mereka terlibat ketegangan. Ikhwan tidak bisa bertemu dengan Hizbut Tahrir. Sedangkan Salafi sangat mengecam Ikhwan, HT dan Jama’ah Tabligh. Kesamaan dari mereka adalah keinginan untuk terwujudkan pemerintahan Islam. Bagi organisasi Islam lokal seperti NU dan Muhammadiyah berusaha keras membendung arus-arus tadi, termasuk adanya penyusup-penyusup yang masuk ke dalam tubuh mereka. Dimungkinkan NU disusupi Jama’ah Tabligh, kemudian anggapan adanya kaum sosialis ekstrem dan liberalis yang menyusup dan adanya Front Pembela Islam (FPI) yang memiliki amaliyah sama dengan NU. Dimungkinkan Muhammadiyah juga disusupi oleh HT, Ikhwan, Salafi dan adanya MTA (Majelis Tafsir Al Qur’an) yang lebih banyak menyerang amaliyah-amaliyah NU. Oleh karena itu, NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi massa terbesar dan banyak tokohnya yang menjadi pendiri bangsa dan negara ini, selalu mencoba untuk bekerjasama dalam mengatasi berbagai permasalah bangsa.

3.    Dari Alam Pikiran menuju Alam Gerakan
HTI menawarkan penyelesaian yang menyeluruh atas segala persoalan yang dihadapi umat manusia. Untuk mengatasi masalah itu, HTI memulainya dengan pembentukan masyarakat Muslim. Namun karena terdiri dari dua unsur yaitu individu dan sistem, maka kedua hal tersebut harus ditangani secara bersama-sama. Menurut Jamhari dan Jajang Jahroni (2004: 174), untuk individu, HTI mengembangkan teori yang disebut syakhsiyyah Islamiyyah (kepribadian Islam). Sedangkan HTI mengembangkan dua pilar masyarakat yaitu politik dan ekonomi. Di sini kemudian dibentuk ekonomi Islam, politik Islam, daulah Islamiyyah dan berpuncak pada khilafah Islamiyyah. Sementara HTI berkepentingan untuk membentuk pemikiran Islam, hukum Islam, dan tsaqafah Islamiyyah. Dengan kata lain HT memulai dengan supra-struktur, infrastruktur, dan struktur sistem. HTI menyebut tiga hal ara (pendapat), afkar (pemikiran) dan ahkam (hukum) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sedangkan unsur sitem dijelaskan lebih lanjut di sub-sub bab selanjutnya.
Jika dilihat dari diagram di atas, terlihat bahwa Hizbut Tahrir merupakan sempalan dari Ikhwanul Muslimin. Namun terjadi perbedaan tajam pada pendekatan perjuangan. IM menekankan kepada pentingnya pembinaan pribadi sebagai prasyarat mutlak lahirnya masyarakat Islam. Mendirikan daulah Islamiyyah dalam dirimu maka ia akan berdiri di atas bumi. Sedangkan HT menganggap pembentukan pribadi dan masyarakat harus dibarengi dengan penegakan daulah Islamiyyah atau Khilafah Islamiyyah. Bagi HT model Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat adalah satu-satunya model yang harus diikuti oleh kaum Muslimin.
Dilihat dari pola gerakannya, HT merupakan penggabungan dari beberapa pemikiran yang ada, Salafisme dari Rasyid Ridha, Reformisme dari Muhammad Abduh dan Pan-Islamisme dari Jamaludin Al Afgani. Mengapa HT bisa dikatakan fundamentalis? Karena jika dilacak kembali, Syekh Taqiyuddin pernah berguru kepada para murid Rasyid Ridha. Jika sanad keilmuwannya dinaikkan kembali maka akan sampai kepada Ibnu Taimiyyah dan Ahmad ibn Hambal. Maka tidak heran jika mereka menekankan kepada aspek salaf dan puritanisme. Menurut Imdadun Rahmat (2005: 140), HTI mengajukan solusi fundamentalis dan integral yakni syariah Islam. Solusi fundamentalis dan integral yang dimaksud tidak lain adalah dengan cara mengakhiri sekulerisme dan menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan syariat Islam.
Walaupun HT terinspirasi dengan Pan-Islamisme, namun keduanya berbeda. Pan-Islamisme adalah kerjasama antar negara Islam yang independen untuk mencapai tujuan bersama, tujuan ini bisa tujuan politik, ekonomi, sosial dan keagamaan. Sedangkan HT menekankan bahwa seluruh Dunia Islam dalam satu komando. Di bawah satu khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur segala hal mengenai pemerintahan dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

4.    Hizbut Tahrir di Indonesia
Gejala fundamentalisme Islam telah ada sejak dahulu di Indonesia. Adanya DI/TII di zaman Orde Lama menandakan kuatnya pengaruh fundamentalis di Indonesia. Bahkan awal mula kelahiran NU juga sebaga alasan untuk membendung arus fundamentalis yang masuk di Nusantara. Padahal lahirnya NU jauh lebih dahulu dari Kemerdekaan Republik Indonesia. Walaupun menurut Al Chaidar (1999: 26) menyebutkan awalny Kartosoewirjo pada awalnya tidak bersikap antagonistik terhadap RI. Tapi kekecewaan demi kekecewaan yang dialami Kartosoewirjo dan pengikut-pengikutnya menyangkut berbagai sektor sosial, ekonomi, politik, militer, agama dan psikologis mengubah keadaan itu. Kekecewaan demi kekecewaan terhadap pemerintaan Republik yang dibentuk Soekarno. Ia lalu membentuk Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan melakukan perlawanan frontal terhadap RI. Jadi, pemberontakan Kartosoewirjo bukanlah suatu peristiwa politik yang berdiri sendiri lepas dari konteksnya. Maka, tidak-lah adil menilai Kartosoewirjo dan DI sebagai pemberontak tanpa menganalisis sebab-sebab yang melatarinya.
Awal kekecewaan Kartosoewirjo, dan saya kira juga banyak kelompok politik Islam, adalah ketika ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dicoret oleh Hatta. Peristiwa pencoretan itu merupakan ‘pukulan telak’ (KO, Knock Out) bagi umat Islam yang sejak zaman penjajahan Belanda mendambakan diberlakukannya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pandangan Kartosoewirjo pencoretan itu merupakan awal kekalahan politik Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler di saat negara Indonesia baru saja dilahirkan. Benih-benih perlawanan terhadap RI pun mulai tumbuh. Kekecewaan lain menyusul. Pasca perjanjian Renville (1948), semua kekuatan gerilya TNI yang berada di kantong-kantong pertahanan Jawa Barat diwajibkan hijrah (mengungsi) ke Yogyakarta. Ibu Kota negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Bagi para pejuang DI ini sangat mengecewakan tidak hanya karena menunjukkan sikap kompromistis RI dan TNI kepada pihak Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tidak terproteksi. Hijrah TNI ini dianggap ‘penghianatan’ yang kemudian membangkitkan amarah rakyat Jawa Barat.
Konsep Negara Islam sebenarnya jauh lebih ada sebelum Hizbut Tahrir lahir di Indonesia. Jika boleh dikatakan, bisa jadi konsep Negara Islam dari Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan berbagai konsep lainnya di dunia mengadopsi dari Kartosoewirjo di Indonesia. Diskusi seputar Pemerintahan Islam kian marak berlangsung di Indonesia. Kampus-kampus ramai menggelar keunggulan pemerintahan Islam ini, berbagai pemikiran dari luar negeri mencuat kepermukaan; Gagasan-gagasan Abul A’la Al Maududi dari Jamaat Al Islami Pakistan, Dr. Yusuf Qaradhawi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir maupun Taqiyuddin An Nabhani dari Hizbut Tahrir.
Gegap gempita pembahasan ini mau tidak mau membuat fakta perjuangan Negara Islam pun tersingkap, dimasukkan dalam analisis diskusi demi diskusi. Berbagai penilaian atas NII pun bermunculan, dalam berbagai ragam keberpihakan. Ketika DR. Yusuf Qardhawi (dalam Al Chaidar (1999: 1)) mengulas tentang perjuangan NII: “Di Indonesia, terdapat pengalaman Darul Islam yang berlindung di gunung, mereka berperang sebagai pahlawan-pahlawan. Dan ini berlangsung beberapa tahun. Mereka telah melakukan contoh-contoh yang menakjubkan, dan kepahlawanan yang jarang bandingannya. Kemudian, mereka diusir oleh pesawat pesawat tempur.”
Kata Hizbut Tahrir ini diartikan sebagai Partai Pembebasan. Didirikan oleh Syekh Taqiyyudin al Nabhari (1909-1979) pada tahun 1953 di Al Quds Palestina. Kemudian tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh Syekh Abdul Qodim Zallum, kemudian dilanjutkan lagi oleh Syekh A Abu Rostah. Untuk penanggungjawaban kewilayahan nasional, disebut Juru Bicara yang untuk Indonesia dipegang oleh Ismail Yusanto. Juru bicara berhak memberikan memberikan penjelasan apa pun yang menjadi pertanyaan publik. Sedangkan untuk wilayah propinsi disebut Humas dengan tugas hampir sama dengan Juru Bicara namun lebih terbatas secara wilayah.
HTI sejak awal memang didesain sebagai organisasi politik. Tetapi berbeda dengan organisasi politik selama, HTI ini tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai partai politik yang mengikuti pemilu. HTI adalah partai politik Islam yang berbasis pada transnasionalisme. Pengakuan ini berhubungan dengan cita-cita politiknya yang mengupayakan seluruh Dunia Islam berada dalam satu kekuasaan politik yang disebut Khilafah. Dari namanya saja, kata Hizbut Tahrir berarti partai kemerdekaan atau partai pembebasan yang berusaha memerdekakan atau membebaskan negeri-negeri Islam di seluruh dunia dari cengkeraman ideologi-ideologi termasuk nasionalisme. Dari adanya Khilafah inilah HT berkeyakinan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan secara serius.
Hizbut Tahrir sangat pesat dalam perkembangannya. Penyebab pesatnya perkembangan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, HT memiliki fikrah yang cemerlang, jernih dan murni, yang menyebabkan pihak-pihak tertentu sangat tertarik untuk bergabung. Kedua, HT memiliki thariqah (metode) tersendiri bagi penerapan fikrahnya. HT merupakan organisasi modern yang menekankan pada pembinaan, pengkaderan dan pengembangan jaringan. Menurut Jamhari dan Jajang Jahroni (2004: 163) salah satu prinsip dasar perjuangan HT adalah HT senantiasa mengambil jarak dengan penguasa. Walaupun di Uzbekistan Hizbut Tahrir terlibat di dalam rencana-rencana pemberontakan namun secara garis besar, HT tidak mengajarkan pemakaian kekerasan dalam geraknnya. Hal ini membuat pemerintah dan dunia internasional sangat sulit memasukkan HT sebagai kelompok terorisme. Ini juga akan berbeda dengan keberadaan HT di Timur Tengah yang memasukkan HT sebagai organisasi terlarang. Alasan utamanya lebih adanya iklim di sana yang condong penggunaan senjata dalam setiap gerakan-gerakan.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa HT masuk ke Indonesia hampir bersamaan dengan Ikhwanul Muslimin, walaupun ada yang mengatakan lebih dahulu Ikhawanul Muslimin. Di seluruh dunia, perbandingan pengaruh IM dengan HT diperkirakan 80 berbanding 20. Penyebab ketidakpopuleran ini adalah HT tidak memiliki figure sentral seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutb dan Said Hawwa dari IM sehingga menyulitkan HT untuk dikenal oleh masyarakat. Nampaknya ketokohan dalam suatu organisasi ini mempengaruhi kepopuleran. Selain itu dengan tidak adanya partai politik secara formal, membuat HT ini sulit dimengerti dan dipelajari oleh orang luar. Jika dibandingkan dengan organiasi lain, keberadaan Hizbut Tahrir dianggap lebih kuat daripada FPI karena memiliki argumen yang kuat dan militansi jaringan yang matang.

a.    Strategi Dakwah
Hal yang mendasari untuk berkewajiban dakwah bagi HTI adalah kondisi sosial masyarakat. Masyarakat Indonesia mayoritas Islam bahkan menjadi pendudukan Muslim terbesar di dunia. Namun di negeri yang penduduknya Islam ini terkesan masih enggan menerapkan syariat Islam. Oleh karena itu, mereka terasa terpanggil untuk menerapkan syariat Islam di bumi pertiwi ini. Ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk berdakwah:
1.    Taskif yaitu melakukan pembinaan atau persiapan. Langkah pertama ini seperti halaqah, usroh dan sebagainya.
2.    Tafa’ul yaitu melakukan interksi dengan masyarakat yang tujuannya untuk menyatukan langkah dalam menjaga integritas umat sebagai satu kesatuan. 
3.    Pengambilalihan kekuasaan melalui jalan damai yaitu penerimaan kekuasaan (istilamul hukmi)

HTI menerjemahkan arti partai politik secara luas. Sebagai suatu organisasi yang aktivitasnya bertujuan mengoreksi kekuasaan dan membangun secara benar. Ada tiga karakteristik:
1.    Secara ideologis. Partai ini berdasar Islam yang juga digunakan sebagai cara pandang dalam melakukan penilaian terhadap berbagai hal.
2.    Ruang geraknya internasional karena HTI adalah bagian dari Hizbut Tahrir Internasional yang mempunyai perwakilan di berbagai negara.
3.    Aktivitasnya bersifat ekstra parlementer. Sifat ketiga inilah yang menyebabkan HTI tidak ikut mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. 

Pembentukan Khilafah merupakan obsesi dari organisasi ini. Konsep khilafah adalah suatu ajaran Islam prinsipil yang selama ini terabaikan, suatu keadaan yang menjadi sebab kemunduran umat Islam. Pembentukan khilafah menjadi keharusan disebabkan karena:
1.    Khilafah Islamiyah adalah bentuk negara yang dicontohkan Nabi SAW dan Para Sahabat
2.    Perlu adanya pemimpin yang dapat menyatukan semua kalangan Islam. Dalam khilafah, pemimpin itu harus mendunia atau tidak terbatas pada territorial tertentu.

Intinya, cara untuk mendapatkan kekuasaan bukan dengan jalan pemilu melaikan dengan penyadaan umat untuk membentuk kehidupan Islami. Strategi yang digunakan dengan dua alasan:
1.    Strategi seperti ini adalah yang dilakukan oleh Nabi SAW yang memulai aktivitas politiknya dengan dukungan dari sebagian anggota masyarakat yang dibina dengan ajaran Islam.
2.    Strategi ini didasarkan pada pengalaman umat Islam di negara-negara tertentu di mana partai politik resmi dibubarkan oleh pemerintah walaupun memenangkan pemilu sekalipun. Oleh karena itu, ekstra parlementer menjadi alternalif untuk menyiasasi konspirasi mereka.
Dalam mencapai tujuannya pasti memiliki program-program kerjanya. Program yang selama ini dilakukan oleh HTI meliputi empat hal, yaitu:
1.    Pengkaderan yang sifatnya perorangan atau shahsiyyah. Tujuannya untuk membangun partai dengan jalan pembinaan yang intensif melalui halaqah dan penjelasan materi dakwah dalam buku. Tetapi mereka tidak melakukan indoktrinasi melainkan terbuka dan kritis. Seperti di awal, agar mereka bisa secara sadar menerapkan syariat Islam dan bergabung HTI.
2.    Pembinaan yang sifatnya kolektif. Hal itu dilakukan dalam bentuk kegiatan yang terbuka untuk publik.
3.    Menta’bani kemaslahatan umat melalui penyebaran bulletin bulanan sebagai upaya untuk menyikapi perkembangan sosial di masyarakat.
4.    Pengungkapan rencana-rencana makar yang dilakukan oleh musuh Islam adalah kaum penjajah yang kafir dan antek-anteknya.

Dalam rangka menjalankan program maka tidak lepas dari adanya misi dar HTI tersebut. Misi HTI terdiri dari:
1.    Melanjutkan kehidupan Islam yang kaffah
2.    Pembentukan Khilafah dengan membentangkan networking yang luas
3.    Pendidikan luas kepada masyarakat supaya dapat berpikir dan bertindak Islami.
Meskipun tidak ada tujuan utamanya, masalah pembentukan khilafah tadi telah menjadi perhatian HTI karena dalam pandangan mereka kepemimpinan rakyat oleh ummat Islam akan ikut menentukan nasib Islam sendiri di masa datang. HTI menekankan adanya pemimpin yang konsisten dan bertaqwa.  Jika pemimpin telah tidak adil maka warga tidak berkewajiban untuk menaatinya.

b.    Hubungan Agama dengan Politik
Hizbut Tahrir Indonesia sebagaimana Hizbut Tahrir sangat menekankan pentingnya peran negara atau kekhalifahan sebagai sarana penerapan syariat Islam. Agar syariat bisa berjalan dengan baik maka harus ditopang dengan adanya negara. Kelompok ini sangat menolak sekulerisme sehingga menghendaki adanya perpaduan antara agama dengan negara. HTI mengklaim bahwa kekhalifahan memiliki dimensi-dimensi positif yang tidak dimiliki oleh bentuk negara saat ini. Tidak adanya dominasi negara satu kepada negara lainnya berdasarkan kepentingan nasionalnya. Walaupun demikian, tidak ada dalam Al Qur’an yang mewajibkan penganutnya mendirikan kekhalifahan, tetapi menurut penganut faham ini, kewajiban itu diperoleh dari perspektif kontekstual Al Qur’an.
Kehidupan masyarakat saat ini berada dalam kondisi yang tidak Islami. Sehingga syariat Islam bukan hanya diterapkan dalam ranah pribadi semata, melainkan harus menguasai wilayah publik. Inilah yang dinamakan pengejawantahan kepatuhan manusia terhadap Islam secara kaffah. Dari beberapa buliten yang sering ditemui di masjid-masjid, selalu mengangkat masalah-masalah berkaitan dengan negara. Uraian pertama membahas mengenai permasalaham yang sedang dihadapi bangsa ini. Kemudian, arah jawaban solusinya digiring secara jelas agar penerapan Khilafah Islamiyah merupakan solusinya. Mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan melainkan dengan cara-cara seperti ini sebagai proses penyadaran agar manusia mau mengikuti hukum Allah.
Ada empat hal yang membedakan Islam dengan sistem-sistem lainnya menurut HTI, yaitu:
1.    Kedaulatan ada di tangan syara.  Bahwa yang berhak menentukan hukum adalah syariat Islam bukan akal, kebiasaan ataupun hawa nafsu serta adat.
2.    Kekuasaan di tangan umat. Dalam Islam, seorang khalifat memperoleh kedudukan dan kekuasaanya setelah ia dibaiat umat. Pembaiatan ini bisa melalui pemilu atau pemilihan oleh perwakilan.
3.    Mengangkat satu khalifah hukumnya fardlu bagi seluruh kaum muslimin.
4.    Khalifah merupakan satu-satunya pihak yang berhak untuk mengadopsi salah satu pendapat yang ada dalam hukum syara’ untuk diberlakukan sebagai undang-undang.

Sistem organisasi dari gerakan ini adalah penggabungan antara sentralistik dengan organisasi massa. Dengan sistem rekrutmen yang tertutup, dengan metode halaqah terbatas, kader inti dan mobilisasi demonstrasi benar-benar membuat HTI solid dalam organisasi massa. Oleh Jamhari dan Jajang Jahroni (2004: 9), bahwa gaya pengajian di kalangan mahasiswa yang dibawa aliran-aliran ini meniru gaya imamah Syi’ah di mana terdapat satu orang yang menjadi pusat yang memungkinkan ini dikatakan sentralistik.
    Politik merupakan unsur utama dalam pembangunan masyarakat. Pembangunan politik menurut HT dimulai dengan pemberian kesadaran politik terhadap sekelompok orang dalam jumlah terbatas. Muncullah sel pertama yang dari sebuah partai. Sel tersebut beranggotakan orang-orang yang memiliki kesetiaan yang luar biasa kepada partai. Mereka selanjutnya menyebar dan menciptakan sel-sel baru. Antara sel-sel tersebut muncul sebuah jaringan dan membentuk apa yang disebut halqah ula (kelompok pertama). Dari anggota sel kemudian tercipta apa yang disebut qiyadah al hizbi (kepemimpinan partai). Mereka ini menjadi motor penggerak partai. Hubungan antar anggota sel dan antar anggota sel dengan partai bersifat sistemik dan ideologis. Fikrah-nya adalah percikan api. Kesetiaan para anggotanya adalah bensin. Pimpinan partai akan menggerakkan unsur-unsur partai yang ada di bawahnya baik halqah, lajnah mahalliyah (pimpinan wilayah atau cabang) maupun individu. Tujuan utamanya adalah li isti’nafi al hayat al Islamiyah (menciptakan kehidupan yang Islami).
    Apakah HTI di Indonesia dan HT Internasional mengharamkan kader-kadernya untuk mencoblos saat pemilu? Yang jelas Hizbut Tahrir tidak mengharamkan pemilu. Baginya, pemilu itu mubah hukumnya, artinya boleh dilaksanakan juga boleh tidak dilaksanakan. Mereka lebih melihat dari segi esensi, apakah pemilu mampu merubah keadaan atau tidak. Rata-rata kader HTI sangat memiliki kesadaran yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Mereka melakukan kritikan melalui selebaran, pawai, buletin sampai tabligh akbar. Model komunikasinya sangat mudah, bisa dari mulut ke mulut, mungkin sekarang sms namun mampu mengerahkan anggota dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan adanya loyalitas yang tinggi kepada ideologi yang mereka yakini.
    Di dalam bukunya Sistem Pemerintahan Islam dan Realitas, Doktrin, Sejarah Empirik karya Taqiyuddin An Nabhani terdapat keterangan-keterangan dari Hizbut Tahrir ini. Baru membuka daftar isinya saja telah terpampang arah pembicaraan dan garis-garis besar konsep Khilafah Islamiyah versi Hizbut Tahrir. Buku itu menyebutkan bahwa pemerintahan Islam itu bukan manorchi, bukan republik, bukan kekaisaran bukan pula federasi. Pilar-pilar dari pemerintahan Islam meliputi kedaulatan di tangan syara’, kekuasaan di tangan umat, mengangkat satu khalifah hukumnya fardlu bagi seluruh kaum muslimin, hanya khalifah yang berhak melaukan adopsi terhadap hukum-hukum syara’. Struktur pemerintahannya pun merupakan kepemimpinan tunggal bukan kepemimpinan kolektif. Pemimpin utamanya yaitu khalifah, dibantu oleh seorang mu’awin, mu’awin sendiri terdiri dari mu’awin tafwidh dalam bidang pemerintahan dan mu’awin tanfidz dalam bidang administrasi. Kemudian ada seorang amir jihad, amir jihad ini terbagi dalam departemen luar negeri, departemen perang, departemen pertahanan dan keamanan dalam negeri, dan departemen perindustrian. Di daerah diangkat seorang wali yang selalu dikontrol oleh khalifah. Dalam urusan peradilan diurusi oleh al qadla’. Dalam urusan administrasi diurusi oleh jihazul idari. Kemudian ada yang namanya majelis umat. Dari situ, dapat dikatakan bahwa struktur negara hanya terdiri dari delapan struktur yakni: Khalifah, mu’awin tafwid (wakil khalifah bidang pemerintahan), mu’awin tanfiz (sekretaris negara), amir al jihad (panglima perang), wulat (pimpinan daerah tingkat I dan II), qadi (hakim), jihaz idari (birokrasi umum) dan majlis al ummah (wakil-wakil masyarakat).

c.    Memahami Gagasan Daulah Khilafah di Bidang Ekonomi
Kebijakan yang diterapkan oleh Khilafah untuk menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyat, orang perorang, secara menyeluruh termasuk kebutuhan sekundernya. Kebijakan ekonomi khilafah ini menitikberatkan pada distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Bukan berdasarkan keterbatasan barang dan jasa sebagai alat pemuas, maupun adanya kebutuhan manusia yang tak terbatas. Oleh karena itu, ada beberapa pandangan mendasar yang menjadi asas dari kebijakan tersebut:
1)    Individu harus dipandang sebagai orang per orang, yang masing-masing mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi.
2)    Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, orang per orang, secara menyeluruh.
3)    Izin mendapatkan rezeki dan permasaan hak untuk mendapatkan izin memperoleh rezeki.
4)    Mengutamakan nilai-nilai luhur yang bisa mengokohkan hubungan di antara sesama individu. (Konferensi Tokoh Umat – HTI: 32)
Guna mewujudkan politik ekonomi tersebut dengan sempurna, Negara Khilafah akan menerapkan dua strategi:
1)    Strategi umum yang terkait dengan sumber-sumber perekonomian negara. Jika permasalahan ini bisa terselesaikan dengan baik, maka politik ekonomi Khilafah ini akan berhasil. Sumber-sumber yang dimaksud adalah pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa.
2)    Strategi yang terkait dengan jaminan terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok dan dasar rakyat, serta kesempatan terpenuhinya kebutuhan sekunder seluruh rakyat, orang per orang secara menyeluruh. 

Mekanisme Tata Kelola Keuangan dan APBN Khilafah berbeda dengan mekanisme yang kita pahami selama ini. Salah satunya APBN Khilafah tidak dibuat setiap tahun.
1)    Karena APBN Khilafah tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat. Sebab dalam penyusunan APBN, pos pendapatan dan pengeluaran telah ditetapkan oleh Syariah.
2)    APBN yang telah disusun dan ditetapkan oleh Khalifah dengan sendirinya menjadi UU, yang harus dijalankan oleh seluruh aparatur pemerintahan. Sehingga tidak membutuhkan pembahasaan dengan Majelis Umat.
3)    Alokasi dana per masing-masing pos pendapatan dan pengeluaran juga diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah.  Tidak perlu pembahasan dengan Majelis Umat. 

Kebijakan keuangan Negara Khilafah ini menganut sentralisasi. Dana dari seluruh wilayah ditarik ke pusat, kemudian didistribusikan ke masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan jumlah pemasukannya. Lembaga yang menghimpun harta sebagai pemasukan negara Khilafah dan pengeluarannya dibawah institusi khusus yang bernama Baitul Mal.
    Dari segi pemasukan bagi Baitul Mal adalah harta yang dibolehkan oleh Allah SWT bagi kaum Muslimin untuk menjadi sumber pendapatan negara yang terdiri dari sebagai berikut:
1)    Anfal, ghanimah, fai dan khusus
2)    Kharaj
3)    Jizyah
4)    Harta Kepemilikan Khusus
5)    Harta Milik Negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya.
6)    Harta ‘Usyur
7)    Harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak diijinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya.
8)    Khusus barang temuan dan barang tambang
9)    Harta yang tidak ada ahli warisnya
10)    . Harta orang-orang murtad
11)    . Pajak (dharibah)
12)    . Harta zakat


B.    Ancaman HTI bagi Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
HTI jelas ingin mendirikan sebuah Negara Islam yang merupakan bagian dari Negara Islam Internasional. Dengan demikian, secara langsung hendak menghapus Pancasila dan merubahnya menjadi cara-cara Islam yang mereka pahami. Dalam aspek Asta Gatra, maka ini bisa dimasukkan ke dalam Gatra Ideologi dan berdampak ke dalam Gatra-gatra lainnya. HTI menciderai konstitusi karena secara langsung bertentangan dengan UUD 1945. Berbagai buku telah dikeluarkan untuk membantah kelemahan pemahaman Khilafah Islamiyah versi Hizbut Tahrir ini. Ada pihak yang mengatakan bahwa HTI ini gagal paham dalam memahami Khilafah Islamiyah.

1.    Kesalahan-Kesalahan HTI
1)    Kekeliruan Mengambil Dalil oleh HTI
Di dalam hal ini, penafsiran kongkrit dan komprehensif ayat-ayat khilafah dalam Al Qur’an khsusunya dalil-dalil yang digunakan kalangan HTI. Terkesan di dalam pengambilan sebuah ayat masih cukup parsial. Maksudnya ayat-ayat yang terkadang dilarikan kepada pemaknaan yang sesungguhnya bukan makna dan tidak terkait dengan subtansi ayat. Dalam hermeneutika Al Qur’an ada variabel yaitu teks, konteks dan kontekstualisasi sangat ampuh membedah dalil-dalil normatif khilafah versi HTI. HTI gagal dalam menemukan bagaimana teks Al Qur’an hadir di tengah masyarakat lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.
Untuk mengokohkan doktrin khilafah ini, HTI mendasarkan kewajiban menegakkan khilafah pada tiga unsur utama yang menjadi penopang argumentasinya. Menurut Ainur (2012: 43), ketiga unsur utama itu yaitu landasan filosofis, landasan normatif, dan landasan historis. Landasan filosofis terdiri dari tiga alasan. Pertama, konsekuensi dari kamil (kesempurnaan) dan syamil (ketercakupan) nya Islam. Islam menurut Hizbut Tahrir tidak hanya mengatur urusan domestik, tapi juga publik berarti juga politik. Urusan politik yang berhak mengatur adalah khilafah. Kedua, konsekuensi kaidah penyerta kesempurnaan, yakni suatu hal yang bisa menjadi penyempurna kewajiban, maka suatu hal tersebut adalah wajib. Dalam hal ini menurut Hizbut Tahrir kewajiban ajaran Islam akan bisa terlaksana apabila ada khilafah, maka mewujudkan khilafah menjadi wajib. Ketiga, konsep mabda’ (ideologi) yang digulirkan oleh Hizbut Tahrir. Islam adalah suatu mabda’ yang terdiri dari fikrah (ide-ide Islam) dan tariqah (cara melaksanakan Islam). Satu-satunya tariqah sebagai pelaksana ide-ide Islam adalah khilafah.
Landasan normatif terdiri dari  tiga. Pertama, landasan dari al-Qur’an. Dalam pandangan Hizbut Tahrir banyak ayat yang menjelaskan tentang kewajiban mendirikan khilafah seperti al- Maidah: 44, 45, 47, dan 49. Ayat-ayat di atas dalam formulasi Hizbut Tahrir sebagai petunjuk bahwa umat Islam wajib berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, berarti telah terjerumus ke dalam jurang kekufuran, kezaliman, dan kefasikan. Dalam perspektif Hizbut Tahrir, yang berhak menjadi hakim (penguasa) adalah khalifah. Artinya khalifah dengan khilafahnya menjadi wajib diwujudkan. Kedua, landasan dari hadis-hadis, seperti hadis, “Sesungguhnya Imam itu adalah seperti perisai, orang berperang di belakangnya, dan berlindung kepadanya.” Menurut Hizbut Tahrir, imam dalam hadis berarti adalah khalifah. Ketiga, landasan dari ijmak sahabat. Hizbut Tahrir berpendapat bahwa paska Nabi wafat, para sahabat berkumpul di balairung Saqifah Bani Saidah yang akhirnya bersepakat membaiat Abu Bakr untuk menjadi khalifah.
Dan sebagai landasan yang ketiga adalah landasan historis yang berupa khilafah telah ada sejak awal Islam hingga tahun 1924 saat runtuhnya Turki Uthmani. Pada masa berabad abad tersebut menurut Hizbut Tahrir adalah masa kekhilafahan.
Tidak kuat atas dalil-dalil yang diambil sebagai dasar khilafah versi HTI. Pertama, dalil Al-Qur`an, antara lain firman Allah swt: “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisa’ [4]: 59). HTI mengambil wajh al-istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) ayat ini dengan cara memerintahkan kaum Muslim untuk menaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah) kalangan mereka. Perintah untuk menaati Ulil Amri merupakan dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tidak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, HTI berkesimpulan hukum bahwa perintah menaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam wajib hukumnya. 
Namun, Al Qur’an Surat An Nisa (3): 59 terdapat transformasi makna ulil amri kepada keniscayaan pemimpin dari kalangan muslim dalam konteks ayat diatas tentunya tidak relevan. Adanya penafsiran ambigu dan lepas dari substansi ayat. Ayat Al Qur’an Al Maidah (5): 48-49 melalui kata hakama atau fahkum diartikan institusi atau sistem Khilafah Islamiyah. Ayat Al Qur’an Al Baqarah (2): 30 melalui kata khilafah diartikan wakil umat sekaligus berada dalam naungan sistem Khilafah Islamiyah. Bahkan kedua ayat dalam Al Qur’an Ali Imran (3): 28 dan Al Qur’an Al Maidah (5): 51 perlu ditafsirkan kembali untuk menemukan titik tengah antara makna teks dengan kontekstualisasi sebagai konsekuensi dari penerapan ayat tersebut. Dalam konteks ke-Indonesiaan jika makna ulil amri ditarik kepada negara, maka koridor dan patokannya tidak lagi pada bagian keimanan tetapi kapabilitas dan kemampuan mengayomi rakyat.
Kedua, dalil dari Sunnah, antara lain sabda Nabi saw.: “Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, No 1851). HTI menafsikan bahwa hadis ini menegaskan kewajiban baiat, dan baiat tersebut tidak akan ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Karena itu, simpul HTI, hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah).
Ketiga, dalil ijma’ Shahabat. Para ulama, misalnya Ibnu Khaldun berpendapat bawah mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in. Demikian juga Imam Ibnu H{ajar al-Haitami berpendapat bahwa para shahabat telah berkonsensus bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang paling penting.
Keempat, dalil Qa’idah Syar’iah. HTI mengajukan kaidah yang berbunyi: “Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.” Mereka kemudian melakukan rasionalisasi bahwa kewajiban-kewajiban hukum Islam tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya institusi khilafah , seperti kewajiban melaksanakan hudud,  kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Atas dasar ini, kaidah hukum Islam di atas juga mereka jadikan sebagai dalil kewajiban pendiran khilafah.
Visi politik Islam HTI adalah dengan membangun kesadaran untuk menegakkan Islam bagi seluruh umat manusia di dunia yang berada di seluruh penjuru bumi melalui kekuasaan politik tanpa batas geografis. Bagi HTI, sikap seperti itu berdasarkan firman Allah SWT: “Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi   seluruh alam” (QS al-Anbiya’ [29]: 107), dan sabda Rasulullah SAW: “Allah memperlihatkan kepadaku seluruh penjuru bumi ini. Aku melihat bagian Timur dan Baratnya. Aku melihat umatku akan menguasai apa yang telah Dia tunjukkan kepada diriku.” (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi). Ayat dan hadis ini dipahami oleh HTI sebagai refleksi visi politik Islam yang luhur sekaligus perintah bagi kaum Muslim untuk memiliki kesadaran geopolitik yang luas tanpa batas. Rasulullah SAW yang dilakukan di tahun-tahun pertama berdirinya Negara Islam di Madinah.
Hizbut Tahrir menggunakan Al Qur’an Surat An Nisa (3) ayat 65 sebagai senjata pamungkas untuk mendapatkan legalisasi wahyu dalam mendirikan Negara Islam dan menggantikan sistem demokrasi di Indonesia. Padahal di dalam Al Qur’an Surat An Nisa (4): 59 tidak ditemukan indikasi kuat adanya argumentasi sistem khilafah. Pendapat kalangan HTI dengan mengutip berbagai ayat dalam Al Qur’an hanya sekedar argumentasi semu. Dengan tujuan agar mampu membius masyarakat Indonesia agar khilafah versi mereka benar-benar sebuah kebenaran. Penafsiran tersebut tidak lepas dengan adanya politisasi tafsir dari warga HTI, mengingat HTI adalah sebuah partai politik. Selama ini Al Qur’an telah menjelma menjadi teks otonom yang dapat menjumpai panafsir baru yang terlepas dari kaidah-kaidah awal. Siapapun dengan argumennya bisa memproduksi tafsiran mereka sendiri sebagai sarana pemenuhan dan kepentingan mereka. Maka tidak heran sampai saat ini banyak sekali pecahan-pecahan di dalam tubuh agama.

2)     Kerancuan dan Koreksi untuk HTI
Khilafah Islamiyah versi HTI tidak memiliki dasar kuat secara teologis. Di dalam Al Qur’an dan Hadits tidak pernah secara khusus disebutkan adanya khilafah di dalam Islam. Suatu pembohongan jika sepenuhnya konsep Hizbut Tahrir berasal dari Islam. Hanya karena terlahir di Timur Tengah di tengah situasi penolakan atas segala yang berbau Barat. Menurut Abdurrahman Wahid (2009: 85) yang mengutip pendapatnya Ed Husain, Hizbut Tahrir disamping dipengaruhi oleh Al Mawardi ternyata juga dipengaruhi oleh Hegel, Rousseua dan pemikir-pemikir Barat lainnya. Hanya saja An Nabhani mengganti term-term Barat dengan term-term berbahasa Arab sehingga terkesan Islami.
Paradigma ijtihad yang dikemukakan oleh HTI termasuk kategori ijtihad konservatif karena pola pengkajian hukum Islam yang digunakan adalah metode bayani (linguistik) yang memiliki kecenderungan reproduktif dan spekulatif. sifat spekulatif itu terjadi karena yang dicari dalam menggali hukum-hukum Islam adalah maksud pengarang (Allah SWT) yang sudah pasti akan melahirkan klaim kebenaran bagi setiap diri penafsir dan pengkajinya. Wacana politik hukum yang disuarakan oleh HTI bersifat doktriner dan ideologis karena ketentuan-ketentuan hukum Islam yang dimunculkan pada dasarnya bukan hukum Islam yang sesungguhnya, melainkan hukum Islam yang sudah menjadi ideologi HTI.
Era kekhilafahan sudah habis setelah masa Ali bin Abi Thalib, yang ada sesudahnya bukan lagi khilafah, tetapi mamlakah (kerajaan) yang dikuasai oleh keluarga. Pengangkatan Sultan secara turun-temurun dengan cara ahli waris yang sah. Semua entitas politik pasca al-khulafa’ ar-rasyidun adalah kerajaan atau kesultanan, bukan khilafah. Sebab sejak masa Dinasti Umayyah, sistem pemerintahan khilafah telah berubah menjadi monarki konstitusional, monarki absolute dan akhirnya menjadi simbol negara yang mati. Jika hendak berkiblat dengan Kesultanan Turki Utsmani, maka ada kerancuan dengan konsep yang dibawa oleh Taqiyuddin An Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir. Kerancuan bisa dilihat dari ajaran An Nabhani bahwa pemerintahan Islam bukan manorchi tetapi Turki saat itu adalah manorchi. Struktur pemerintahan yang diterapkan oleh Turki tidak sesimpel yang diajukan oleh An Nabhani. Memang saat itu Turki menjadi Imperium Islam dengan seluruh wilayah Islam berada dalam koordinasinya. Hal itu lebih kepada semangat Pan Islamisme yang dikemudian hari dikembangkan oleh Jamaludin Al Afgani.
Menjadi sangat tidak masuk akal jika suatu negara tidak memiliki perangkat yang lengkap. Mengingat semakin berkembangnya permasalahan dan perkembangan global yang semakin kompleks. Menurut An Nabhani (1996: 19), di dalam struktur daulah Islam tidak terdapat kementerian sebagaimana dalam tradisi konsep demokrasi. Karena semua tidak bersumber dari akidah Islam. Disamping itu dilarang melaukan koreksi kepada daulah Islam (baca: negara) baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Dilarang pula mendirikan gerakan, organisasi atau partai-partai dengan landasan selain akidah Islam. Mana mungkin tidak ada kementerian atau sejenisnya dalam membantu pemimpin mengurusi, mengatasi dan merencana suatu program kerja. Sebagai manusia biasa, jelas pemimpin memiliki kekurangan, kelemahan dan kekhilafan dalam mengurusi jutaan manusia dalam suatu negara. Apalagi tidak diperkenankan untuk dikoreksi sehingga kontrol terhadap pemimpin tidak pernah ada. Jangan sampai dengan dalil agama para pemimpin berdalih suci sehingga tidak perlu diawasi. Pemimpin tetap sebagai manusia biasa yang memiliki hawa nafsu yang setiap saat bisa tergelincir dalam naungan dosa.
Pernyataan atas pelarangan pendirian gerakan yang berbeda jelas merupakan pengingkaran dari Firman Allah. Hizbut Tahrir melarang pendirian gerakan, organisasi atau partai-partai dengan landasan selain akidah Islam. Kita tahu di dalam suatu negara pasti terdapat berbagai pemikiran, pendapat, cara, gerak, sikap masing-masing yang berbeda. Misalnya di Indonesia sendiri terdapat enam agama yang diakui, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Selain itu terdapat banyak suku, bahasa, budaya dan adat istiadat yang berbeda. Inilah yang dinamakan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian HTI menolak adanya Bhinneka Tunggal Ika. Padahal di dalam Al Qur’an Allah Berfirman, bahwa Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal-mengenal. Adanya suku dan bangsa merupakan kodrat dari Allah, sebagai Bukti Kekuasaan NYA. Konsekwensi dari adanya suku dan bangsa yang berbeda ini adalah perbedaan pula dalam sikap, cara pikir, dan geraknya. Perbedaan jelas sudah diakui Allah, bahwa Dia menciptakan makhluk semua ini berbeda. Rambut boleh sama hitam tapi isi otak berbeda-beda. Dan diharapkan dengan perbedaan ini menjadi saling kenal-mengenal dan hormat-menghormati. Namun bagi HTI, mereka dengan mengatakan seperti itu jelas memungkiri segala perbedaan yang telah Allah kodratkan di bumi ini. Nampaknya HTI akan menggunakan cara-cara kekerasaan untuk memaksa seluruh orang yang berada di bawah kekuasaannya untuk taat dan patuh. Sebagaimana cara-cara yang dilakukan di daerah asal mereka yaitu Timur Tengah.
Di awal tulisan disebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan negara adalah harta orang-orang murtad. Di dalam penjelasannya, murtad adalah keluar dari agama Islam kembai kufur, darah dan harta orang murtad menjadi halal. Apabila dalam waktu 3 hari seorang yang murtad tidak bertobat dan kembali kepada Islam maka kepadanya akan dijatuhi hukuman mati dan hartanya diambil untuk disimpan di Baitul Mal. Tulisan itu kami ambil dari Makalah saat Konferesi Tokoh Umat – HTI. Jika membaca tulisan terkesan Islam sangat mengerikan dan sadis. Pertama, terkesan ada pemaksaan dalam beragama Islam. Rasulullah SAW pun selama hidupnya tidak pernah memaksa orang-orang untuk masuk Islam. Peperangan demi peperangan di dalam Islam hanya sekedar melindungi Islam karena dimusuhi. Rasulullah SAW mengajak dengan akhlak yang baik sehingga banyak orang dengan ikhlas untuk masuk Islam. Kedua, belum pernah terdengar adanya pembunuhan atau dihukum mati karena murtad. Bagaimana akan mendapat simpati, jika Islam selalu berwajah menakutkan dan suka membunuh. Bahkan dengan non-Islam pun umat Islam hendaknya santun dan berkerjasama untuk kemajuan bangsa, tanpa melanggar urusan akidah pastinya. Ketiga, umat Islam hendaknya juga ikut serta menjaga harta saudara-saudaranya walaupun non-Islam. Karena mereka juga sesama warga negara yang setia kepada negara dan ikut membayat pajak dan pastinya tidak mengganggu umat Islam.
HTI ini tidak konsisten dalam berpendapat dan cenderung menciptakan pemerintahan yang absolut. Terkait eksistensi khilafah ia juga menyatakan, “Khilafah bagi Hizbut Tahrir sebagai sistem politik yang tak tergantikan, tidak dapat ditukar, dan tidak boleh diubah. Walaupun kenyataannya, dalam karya-karya yang dikeluarkan oleh gerakan ini, masalah khilafah telah mengalami evolusi atau perubahan, ini adalah sebentuk dari inkonsistensi. Konsekuensi lain, pemikiran khilafah versi Hizbut Tahrir akan membuka peluang menjadi negara absolut dan pemerintahan yang autokratik. Karena kekuasan yang sangat besar namun tidak diperkenankan untuk melakukan kontrol sehingga partisipasi benar-benar dibungkam.
Namun di dalam bukunya, An Nabhani menyebutkan atas keberadaan Majelis Umat. Ini menjadi rancu dengan pendapat An Nabhani sebelumnya. Sebelumnya An Nabhani melarang adanya koreksi terhadap daulah Islam yang dipimpin oleh Khalifah. Namun di dalam wewenangnya, Majelis Umat berhak mengoreksi khalifah atas segenap tindakannya. Selainnya Majelis Umat berhak membatasi calon yang akan menjadi khalifah. Dengan adanya pembatasan ini terkesan bahwa khalifah bukanlah orang-orang yang suci untuk memimpin negeri. Padahal dalam bukunya pula An Nabhani menyampaikan bahwa Khalifah yang berhak melakukan tabbani (adopsi) terhadap hukum-hukum syara’. Gerak khalifah masih bisa dibatasi dengan wewenang dan keberadaan Majelis Umat. Bila antara Majelis Umat dengan Khalifah terdapat gesekan pendapat maka harus diselesaikan dan diserahkan kepada Mahkamah Madzalim. Keberadaan struktur pembantu khalifah dalam sistem khilafah secara tidak langsung sebenarnya juga memakai sistem departemen atau kementerian namun hanya memakai istilah yang berbeda. 
Benar pernyataan yang disampaikan oleh Ed Husain, bahwa Hizbut Tahrir dipengaruhi oleh Hegel, Rousseua dan pemikir-pemikir Barat lainnya. Hanya saja An Nabhani mengganti term-term Barat dengan term-term berbahasa Arab sehingga terkesan Islami. Adanya tahapan dalam pencapain tujuan yang sempurna jelas ini mengadopsi model negara organisnya dari Hegel. Hanya saja Hizbut Tahrir diawali dengan kaderisasi, lalu sosialisasi dan terakhir pengambil-alihan kekuasaan dengan tujuan utama adalah Khilafah Islamiyah. Jika boleh kami katakana, corak sistem yang diusung HTI mirip dengan trias politica. Karena di sini ada khalifah selaku eksekutif, lalu Majelis Umat selaku legislatif dan keberadaan Mahkamah Madzalim yang seperti hal nya yudikatif.

2.    HTI Menolak Pancasila
Slogan terkemuka dari HTI adalah “Selamatkan Indonesia dengan Syari’ah”. Penerapan hukum Islam secara formal (versi mereka) didengungkan seirama dengan ingin menonjolkannya simbol-identitas keislaman yang khas. Ditambah adanya berbagai permasalah di berbagai lini kehidupan di negara ini membuat HTI menawarkan alternatif solusi. Dari berbagai buletin Jum’at yang mereka sebarkan, selalu ada kata-kata “…. Khilafah sebagai Solusinya”. Jargon HTI yang menyebutkan “Dengan khilafah, Indonesia sejahtera dan mendapat ridha Allah”. Statemen tersebut sangat ideologis dan simplistis, karena tidak ada solusi yang konkret untuk menjawab masalah-masalah yang menerpa kaum Muslim. HTI terjebak pada janji-janji bahwa kalau Islam diterapkan, rakyat akan makmur. Namun mereka lupa bahwa memakmurkan rakyat bagaimanapun tetap memerlukan mekanisme dan strategi riil.
Menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. HTI dan gerakan Islam garis keras lainnya itu menolak demokrasi di saat Indonesia telah menggelontorkan demokrasi sehingga terjadi kebebasan bagi warga Indonesia untuk berkumpul dan berserikat. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul inilah nampaknya menjadi alat bagi HTI untuk menyepakkan sayapnya di Indonesia. HTI menikmati demokrasi di Negara yang menerapkan Pancasila, namun secara lantang menantang demokrasi dan hendak mengganti Pancasila. Wacana romantisme masa lalu telah mampu membius warga HTI untuk membisu dengan realitas yang ada.
Paham Transnasional Hizbut Tahrir jelas mengancam Pancasila dan NKRI. Menjadi sesuatu yang keliru terhadap Islam kaffah (menyeluruh) yang kemudian dipahami dengan kewajiban Pemerintahan Islam. Menjalankan syariat Islam adalah keharusan bagi seorang Muslim namun tidak ada keharusan pula adanya dalil tentang pendirian negara Islam. Penolakan atas Pancasila dianggap kurang memahami esensi dari Pancasila. Belum memahami Pancasila secara mendalam dan hanya terlihat kulit saja dengan terburu-buru Pancasila itu bertentangan dengan Islam. Padahal dalam perjalanannya, Para Pendiri Negara ini sepakat bahwa Sila Pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai sebagai Ketahuhidan. Sila-sila dalam Pancasila pun tidak ada yang bertentangan dengan Ajaran Islam. Bahkan Sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan Nilai Moral dan menjadi Dasar dari sila-sila lainnya. Dalam sistem hukum Indonesia, hukum di Indonesia bersumber dari Hukum Adat dan Hukum Adat itu sendiri berasal dari Hukum Agama.
HTI merupakan ancaman serius bagi Pancasila. HTI secara terang-terangan di depan mata hendak mengganti Pancasila dengan Khilafah Islamiyah. HTI merupakan gerakan radikal Islam yang ingin mengembalikan kejayaan sistem politik Islam klasik (salaf), menggantikan negara-bangsa dan demokrasi. HTI yang hadir di Indonesia pada 1980-an, kini telah menapaki tahap kedua perjuangan, yakni marhalah tafa'ul ma'al ummah (tahapan sosialisasi gagasan ke masyarakat), setelah sebelumnya melakukan kaderisasi (marhalah tasqif) melalui gerakan usroh di lingkungan perguruan tinggi. Tahapan sosialisasi ini dilakukan misalnya melalui Konferensi Khilafah II (2007) yang melayangkan surat terbuka kepada Presiden SBY untuk mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Tahap sosialisasi lainnya dengan menyebaran bulletin Jum’at, dengan buku-buku, internet dengan mengangkat jargon-jargon yang telah kami sebutkan di atas. Maka mereka tidak lagi merasa canggung, malu, takut ataupun segan untuk mengajak kepada khilafah karena saat ini mereka sedang dalam fase sosialisasi. Tak jarang HTI juga berdialog dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk mengajak ke dalam HTI.
Utopia pendirian khilafah ini dibarengi dengan pengafiran atas Pancasila yang menurut mereka bertentangan dengan Islam. Dalam selebaran (nasyrah) berjudul Pancasila Falsafah Kufur Tidak Sesuai dengai) Islam (Al-Banshasila Falsafah Kufr Ia Tattafiq ma'a al-lslam). HTI mengharamkan Pancasila karena: 1) menganut pluralisme agama melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sedangkan hanya Islam agama yang benar; 2) memuat pluralisme ideologi, yakni nasionalisme, humanisrrie, demokrasi dan sosialisme, padahal Islam (isme) satu-satunya ideologi (mabda') yang benar.
Ke depannya, yang dikhawatirkan adalah menuju fase ketiga. Tentu mereka tidak akan mampu menapaki tahap ketiga perjuangan, yakni istilam al-hukmi (penggulingan kekuasaan). Dalam bahasa lebih halusnya dengan pengambil-alihan kekuasaan melalui jalan damai yaitu penerimaan kekuasaan. Namun entah dengan kekerasan maupun damai, tetap HTI ingin merubah Pancasila dengan Khilafah Islamiyah. Sebagaimana di negara-negara Timur Tengah, selalu dibarengi dengan kekerasan dalam penggulingan atau pengambil-alihan kekusaan. Tetapi karena saat ini kekuatan militer Indonesia masih terlalu kuat dibanding gerakan non-militer ini. Namun mereka tetap menjadi ancaman di wilayah wawasan kebangsaan, karena menyuntikkan "virus anti-nasionalisme" kepada generasi Muslim. Mereka menganggap bahwa Pancasila itu haram, pemerintahan saat ini adalah thagut, hukum yang diterapkan saat ini tidak ada dalilnya dalam Islam. Maka halal darahnya, maka halal hartanya untuk dirampas. 
Dari berbagai gerakan ekstremis di Indonesia, mulai dari HTI, Ikhwanul Muslimin, Jihadi dan sebagainya memiliki tujuan pokok yaitu mendirikan khilafah Islamiyah. Meskipun salafi politik (HTI) yang mengidealkan khilafah bukan bagian dari terorisme, namun para teroris mengendap cita-cita yang sama pendirian khilafah yang menerapkan syariat Islam. Bagi salafi politik, khilafah ditegakkan secara evolusioner melalui perang pemikiran melawan pemikiran modem. Keikutsertaan pemilu yaitu jalur politik yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin. Sedangkan bagi jihadis, khilafah hanya bisa ditegakkan melalui senjata dan kekerasan. Dengan demikian, diantara mereka juga terdapat pertentangan pendapat mengenai konsep dan cara. Jikalau Pemerintahan Indonesia bisa dihancurkan, maka pasti akan terjadi perang lagi. Saat melawan Indonesia, mereka semua bisa bersatu tetapi persatuan semu. Setelah Indonesia bisa dikalahkan, maka berlanjut diantara mereka sendiri. Inilah ancaman yang tidak bisa dianggap remeh. 

3. Usulan Atas Keberadaan HTI
Dengan “congkaknya” HTI menolak Demokrasi, Pancasila dan Indonesia. Namun di satu sisi mereka menikmati hasil bumi Indonesia, berkawan dengan orang Indonesia, secara tidak langsung meminta perlindungan kepada Negara Indonesia yang mereka benci. Mencari dalil agar memperkuat dan mengabsahkan demi pencapaian kepentingannya sendiri. Sesungguhnya inilah cara berpikir yang salah yang sangat membahayakan bangsa dan negara. Pencucian otak untuk mengganti ideologi Pancasila dengan Khilafah Islamiyah sangat menggerogoti Indonesia jika dibiarkan. Tidak lain dan tidak bukan, HTI semata-mata adalah gerakan politik murni yang terselip kepentingan ekonomi dengan tameng agama. Kami memiliki usulan-usulan terkait adanya Hizbut Tahrir di Indonesia.
Pertama, HTI tidak sesuai dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI. Oleh karena itu, HTI wajib dibubarkan dan dilarang keberadaanya di Indonesia. Saat ini HTI sedang dalam fase kedua yaitu sosialisasi kepada masyarakat. Telah sebelumnya HTI melakukan fase pengkaderan baik tertutup maupun terbuka. Maka fase ketiga inilah yang membahayakan yaitu pengambil-alihan atau dalam Bahasa mereka penyerahan kekuasaan ke tangan mereka. Jelas, ini adalah perbuatan makar kepada Indonesia.
Kedua, perlu menyakinkan kepada masyarakat bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan. Bahkan hakikatnya Pancasila merupakan suatu dakwah agama Islam tetapi dalam bentuk lain. Memang Pancasila tidak ada pemakaian Bahasa Arab namun sila-sila di dalamnya merupakan sesuai dan bentuk dari ajaran Islam. Khususnya Sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang bermakna Ketauhidan dan merupakan sumber dan ajaran moral dari bangsa dan negara Indonesia.
Ketiga, perlu adanya kerjasama antar elemen anak bangsa dalam membendung segala macam pengaruh yang akan merongrong NKRI. Dibutuhkan kerjasama yang instensif dan tersturktur dari semua kalangan. HTI dan paham yang merongrong NKRI bukan semata-mata musuh TNI dan Polri tetapi semua bangsa Indonesia. Bagi masyarakat merupakan ujung tombak atau garda terdepan dalam menyampaikan informasi dan pula melakukan deradikalisasi di kalangan masyarakat dan lingkup keluarganya. Termasuk motong arus dana kepada para radikalis dari luar negeri.
Keempat, sebagaimana diketahui, selama ini program dalam penanganan yang dilakukan pemerintah dengan cara counter-radicalism menyasar pada kalangan yang belum radikal untuk menghambat virus radikalisme. Biasanya di kalangan pelajar, seminar, dan lainnya. Di sisi lain, pemerintah harus menambah satu lagi yaitu dengan harus diradikalkan menjadi deradikalisasi atas kelompok Muslim radikal. Pemerintah harus memiliki keberanian untuk masuk ke kalangan mereka dan melakukan penyadaran secara masiv.

Daftar Pustaka

Al Chaidar. 1999. Pengantar Pemikiran Politik Prokamator Negara Islam Indonesia. SM. Kartosoewirjo. Jakarta: Darul Falah.

An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Sistem Pemerintahan Islam. Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik. Bangil: Al Izzah.

Arubusman, Muhyiddin. 2006. Terorisme Di Tengah Arus Global Demokrasi. Bekasi: Spectrum.
Jamhari dan Jajang Jahroni. 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Muzadi, Hasyim. 2005. Islam da Terorisme. Dari Minyak Hingga Hegemoni Amerika. Yogyakarta: UCY Press.

Rahmat, Imdadun. 2005. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rofiq, Ainur. 2012. Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia. Yogyakarta: LKiS

Said Ali, As’ad. 2010. Negara Pancasila. Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: LP3ES.

Wahid, Abdurrahman. 2009. Ilusi Negara Islam. Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Desantara Utama Media

Makalah. Khilafah, Model Terbaik Negara Yang Menyejahterakan. Konferensi Tokoh Umat. Hizbut Tahrir Indonesia.

oleh: Minardi, S.IP, Mahasiswa Ketahanan Nasional, Sekolah Pascasarjana, UGM


Senin, 05 Desember 2016

Jurnal: Etika dan Kejujuran dalam Berpolitik

ETIKA DAN KEJUJURAN DALAM BERPOLITIK  
Prihatin Dwihantoro  
POLITIKA, Vol. 4, No. 2, Oktober 2013 


Abstract 
Talking about the ethics of participating in politics in the life of a nation and a country, we have to admit that nowadays many among the political elite tends to be politicking with ethical dereliction of outstanding statesmanship. An awful lot of the fact that their politicking done without rationality, emotions and putting forward the interests of the group, and does not give priority to the interests of a nation. Politics is not a purely pragmatic nature of case, which concerns only a goal and how to achieve those goals, that can be handled with rationality. Looks more like a political ethics demand that a destination that is selected must be justified by common sense that can be tested, and how to achieve them must be defined can be tested with the moral criteria. Honesty in politics is very important in the efforts to improve the situation of the nation is full of falsehoods. High low moral integrity of a person in politics to determine high low integrity of the personality and the quality of the politicking politicians. With still having our politicians are unscrupulous, allowing us to hope for improvement of politics and morality that are dilapidated.  
Keywords: ethics, politics, honesty

Download di

Jurnal: CORAK BUDAYA BIROKRASI PADA MASA KERAJAAN, KOLONIAL BELANDA HINGGA DI ERA DESENTRALISASI DALAM PELAYANAN PUBLIK

CORAK BUDAYA BIROKRASI  PADA MASA KERAJAAN, KOLONIAL BELANDA HINGGA DI ERA DESENTRALISASI DALAM PELAYANAN PUBLIK  
 Oleh :  Dr. H. M. Nur Hasan, Msi. Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo DPK FAI-Unissula Semarang 

ABSTRAK  
Susunan birokrasi pemerintahan tradisional masih diikuti oleh birokrasi kesultanan, yakni dengan membagi urusan pemerintahan menjadi urusan dalam kerajaan dan urusan luar kerajaa. kualitas birokrasi dan aparat yang diharapkan tidak lain adalah terciptanya aparatur pemerintah yang handal, mampu melaksanakan keseluruhan penyelenggaraan pemerintahan umum, pembangunan dan pelayanan masyarakat dengan efisien, efektif dan profesional. Kinerja dapat didefinisikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau dengan kata lain, kinerja merupakan  tingkat pencapaian tujuan organisasi Pemerintahan Daerah. Jadi untuk menentukan kinerja Pemerintahan Daerah dapat dilihat dari bagaimana tampilannya dalam mewujudkan hasil dan seberapa besar hasil dapat dicapai sesuai dengan target yang telah ditentukan. 
Kata kunci : Corak Budaya, Birokrasi, Pelayanan Publik 

E-Book: Buku Berseri dari Guru Mulia Al Habib Munzir Al Musawa

Download e-book:
1. Kenali Aqidahmu
    http://www.4shared.com/office/E_AjeDjBba/kenalilahaqidahmu.html
2. Meniti Kesempurnaan Iman (Sanggahan Terhadap Buku Benteng Tauhid Syeikh Abdul bin Baz-         Wahabi)
    http://www.4shared.com/office/PBwX_EZ5ba/meniti_kesempurnaan_iman__sang.html

E-Book: Riwayat Hidup dan Perjuangan PROF. KH. SAIFUDDIN ZUHRI

Riwayat Hidup dan Perjuangan
PROF. KH. SAIFUDDIN ZUHRI
Ulama Pejuang Kemerdekaan


Prof. KH. Saifuddin Zuhri (1919­1986) selain dikenal sebagai Menteri Agama juga dikenal sebagai seorang wartawan, pejuang, politisi, dan ulama. Hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk negara dan bangsanya melalui berbagai medan dan media. Sejak usia muda dia sudah berproses dan terlibat menjadi bagian tak terpisahkan bersama­sama bangsanya. Memang, Republik ini didirikan oleh orang­orang muda. Budi Utomo didirikan oleh orang-­orang berusia antara 18­23 tahun. Dan Prof. KH. Saifuddin Zuhri berada ...

Minggu, 04 Desember 2016

E-Book: Psikologi Anak Pendidikan


Buku menarik untuk layak dibaca mengenai tumbuh kembang anak. Bahkan buku ini juga memecah anak laki-laki dengan anak perempuan, sehingga tidak ada penyamaan dalam perlakuan.
http://www.4shared.com/office/FRC5MKLtba/Psikologi_Anak_Pendidikan.html

E-Book: Peninggalan Masa Lampau Yang Misterius dan UFO


BAB I: SUATU TANTANGAN BAGI ILMU PENGETAHUAN
Di Perancis, di Amerika Serikat, di Inggris, di India, dan di manapun juga di muka bumi ini, orang telah melihat adanya benda-benda luar angkasa, yang dalam bahasa asingnya disebut “Unidentified Flying Objects” (=benda-benda tak dikenal, yang berterbangan di angkasa luar), atau disingkat UFO s; ribuan, atau mungkin ratusan ribu, bentuk akibat cahaya-aneh dan pisin atau piring di angkasa, telah dilihat oleh manusia.

Hanya sedikit sajalah pengamatan, yang dapat diuraikan secara jelas dan teliti, seperti yang dilakukan oleh seorang dokter di New York mengenai apa yang telah dia lihat bersama keluarganya. Apa yang telah dia lihat bersama keluarganya itu, terjadi pada tanggal 11 April 1964, pada jam 18.30 (malam hari), dan berlangsung selama tidak kurang dari 45 menit.

Kita akan mengutip uraiannya secara penuh dengan menekankan, bahwa penyaksian itu bukanlah berasal dari surat kabar ataupun dari orang ketiga. Apa yang akan kita kemukakan, merupakan laporan resmi dari si dokter itu sendiri kepada instansi-instansi pemerintah.

http://www.4shared.com/office/XzK13S0xce/Peninggalan_Masa_Lampau_yang_M.html